A. Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawinya ( Aspek Kuantitas Hadist )
Kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadist atau dari segi jumlah sanadnya.
Jumhur
(mayoritas) ulama membagi hadist secara garis besar menjadi dua macam,
yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad, disamping pembagian lain yang
diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam
yaitu: hadist mutawatir, hadist masyhur (hadist mustafidh) dan hadist
ahad.
1. Hadist Mutawatir
a. Pengertian hadist mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi
yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan
yang lain. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh
banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai
generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil
untuk berbohong. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam
setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas. Sebagian
ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu tidak kurang dari dua puluh
perawi. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang
tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang
(lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
pernyataan Allah sebagai berikut :
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam.
Sedangkan
menurut istilah para ulama telah memberikan batasan yakni: hadist
mutawatir adalah tentang suatu yang mahsus (yang dapat ditangkap oleh
panca indera), yang disampaikan oleh sejumlah besar rawi yang menurut
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta.
Suatu hadist baru dapat dikatakan hadist mutawatir, bila hadist itu memenuhi tiga syarat, yaitu:
l Pertama:
Hadist yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah
SAW yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan
perbuatannya yang dapat dilihat dengan mata kepala atau sabdanya yang
dapat didengar dengan telinga.
l Kedua:
Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan hadist) itu haruslah mencapai
jumlah yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka sepakat untuk
berbohong. Tentang beberapa jumlah minimal para rawi tersebut terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ulama, sebagian menetapkan dua belas
orang rawi, sebagian yang lain menetapkan dua puluh, empat puluh dan
tujuh puluh orang rawi.
l Ketiga: Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.
b. Pembagian Hadist Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu :
1. Hadist mutawatir lafdhi
Hadist
mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis
sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama
pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir
dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata
muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau
maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap
sama.
Contoh hadist mutawatir lafdhi yang artinya:
“ Rasulullah
SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah
dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (Hadist Riwayat Bukhari). “
Hadist
tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh
empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada
enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadist itu dengan
redaksi yang sama.
2. Hadist Mutawatir maknawi
Hadist
mutawatir maknawi adalah hadist mutawatir dengan makna umum yang sama,
walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata
lain, hadist-hadist yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan
perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah
hadist-hadist yang termasuk hadist mutawatir maknawi jauh lebih banyak
dari hadist-hadist yang termasuk hadist mutawatir lafdhi.
Contoh hadist mutawatir maknawi yang artinya:
“ Rasulullah
SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi
sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa
memohon hujan (Hadist Riwayat Mutafaq’ Alaihi). ”
3. Hadist Mutawatir ‘amali
Hadist
mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan
Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh
orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala
macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau
disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir
‘amali. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali
cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat
harta.
c.Kedudukan Hadist Mutawatir
Seperti
telah disinggung, hadist-hadist yang termasuk kelompok hadist mutawatir
adalah hadist-hadist yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari
Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadist mutawatir membuahkan
“ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti
bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadist mutawatir membuahkan
“ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau
dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus
diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan
oleh hadist itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan
Rasulullah SAW.
Taraf
kepastian bahwa hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari
Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai
seratus persen.
Oleh
karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam
tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama
halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.
Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi
dari kedudukan hadist ahad.
2. Hadist Ahad
a. Pengertian Hadist Ahad
Ahad
(baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad.
Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya,
berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu.
Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir, maka pengertian
hadist ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada
batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain
berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai
jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat,
lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa
hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist
mutawatir.
b. Pembagian Hadist Ahad
1. Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur
menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer.
Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar.
Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama
berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan
dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan
hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu:
hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau
mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah
rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak
kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu
belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
Yang artinya:
“ Rasulullah
SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak
mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim,
dan Turmudzi) “
Hadist
di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari,
Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi
dalam setiap tingkatan.
2. Hadist ‘aziz
‘Aziz
menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti
jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau
hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu
jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist
‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua
rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi.
Berdasarkan
batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan
pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist
‘aziz.
Contoh hadist �aziz adalah hadist berikut ini:
Yang artinya:
“ Rasulullah
SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan
yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan
Abu Hurairah) “
Hudzaifah
dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah
dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja
dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan
karena itu termasuk hadist ‘aziz.
3. Hadist gharib
Gharib,
menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain.
Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau
menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai
berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang
rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad.
Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan
oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang artinya:
“ Dari
Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal
itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh)
apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “
Kendati
hadist ini diriwayatkan oleh banyak imam hadist, termasuk Bukhari dan
Muslim, namun hadist tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan
oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan pada tingkatan
kedua juga diriwayatkan oleh hanya satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.
Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadist gharib.
c. Kedudukan Hadist Ahad
Bila
hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal
dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari
beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin
benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal
dari beliau.
Karena
hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi
diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka
kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah
kedudukan hadist mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang
termasuk kelompok hadist ahad, bertentangan isinya dengan hadist
mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak.
3. Perbedaan Hadist Ahad dengan Hadist Mutawatir
a. Dari segi jumlah rawi
Hadist
mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada
setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak
mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad
diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan
masih memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
b. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist
mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu
dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu
sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya.
Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang
bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi kedudukan
Hadist
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber
ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
d. Dari segi kebenaran keterangan matan
Dapat
ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil
bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan
keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan
dengan keterangan ayat al-Qur’an.
B. Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad Dan Matannya (Aspek Kualitas Hadist)
Kualitas
hadist adalah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar palsunya
hadist itu berasal dari Rasulullah SAW. Penentuan kualitas hadist
tergantung pada tiga hal yaitu: jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan
matan. Klasifikasi hadist ditinjau dari aspek kualitas hadist, terbagi
kedalam tiga tingkatan:
1. Hadist Sahih
2. Hadist Hasan
3. Hadist Dha’if ( Dibahas pada silabus selanjutnya )
Selanjutnya, berikut sedikit uraian bagian-bagian tersebut secara terperinci.
1.Hadist Sahih
a. Definisi hadist sahih
Menurut
bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat, sah, atau benar,
sehingga hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yang bersih dari
cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan
batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist
sahih adalah hadist yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya
tidak menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijmak dan
sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadist sahih adalah sebagai berikut:
1. Sambung sanadnya
Bahwa setiap perawi memang menerima hadist secara langsung dari perawi seatasnya sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
2. Perawinya harus adil
Setiap perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
3. Perawinya harus cermat
Setiap perawi haruslah sempurna kecermatannya, baik dia cermat ingatannya atau cermat kitabnya.
4. Tidak syadz
Hadisnya
tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz artinya tidak cocoknya
seorang perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang lebih terpercaya
darinya.
5. Tidak terkena
Hadistnya
tidak terkena sebab-sebab sulit dan tersembunyi yang dapat merusak
kesahihan hadist, padahal kenyataan lahirnya adalah selamat darinya.
Dari
kelima syarat itu, apabila salah satu syarat tidak terpenuhi atau
rusak, maka hadist dalam keadaan demikian tidak dapat disebut sebagai
hadist sahih
Contoh hadist sahih, yang artinya :
“Telah
bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah
mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin
Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar
Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR.
Bukhari, No 731)
Hadist ini dikatakan sahih karena:
1. Sanadnya sambung, sebab perawinya mendengar langsung dari gurunya.
2. Perawinya
adil dan cermat, sebab disebutkan Abdullah bin Yusuf adalah seorang
terpercaya dan cermat, Malik bin Anas adalah imam yang hafidz, Ibnu
Syihab az-Zuhri adalah ahli fiqh hafidz, Muhammad bin Jubair adalah
orang terpercaya, dan Jubair bin Muth’im adalah seorang sahabat.
3. Hadistnya tidaklah satu illat pun.
b. Pembagian hadist sahih
Hadist sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. Hadist sahih li dzatih
l Adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist sahih.
2. Hadist sahih li ghairih
l Adalah hadist dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh hadist-hadist yang lain.
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang diriwayatkan oleh:
1. Bukhari dan Muslim
2. Bukhari sendiri
3. Muslim sendiri
4. Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5. Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6. Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7. Ulama yang terpandang (mu’tabar)
c. Kedudukan hadist sahih
Hadist
sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist
hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua
ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau
hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak
kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat
menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
2. Hadist Hasan
a. Definisi hadist hasan
Hadist
hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan
bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung
kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada
keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua
syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Contoh hadist hasan, yang artinya :
Dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum
sampai di tenggorokan (sakratul maut)". (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, dan Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.)
Hadist ini telah dikatakan oleh Turmudzi sendiri: “ hadits ini hasan ”
b. Pembagian hadist hasan
Hadist hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadist hasan li dzatih
l Adalah hadist yang keadaannya seperti tergambar dalam batasan hadist hasan di atas.
2. Hadist hasan li ghairih
·
Adalah hadist dibawah derajat hadist hasan yang naik ke
tingkatan hadist hasan karena ada hadist lain yang mengikutinya.
c. Kedudukan hadist hasan
Para
ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadist hasan berada sedikit
dibawah tingkatan hadist sahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
kedudukannya sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah. Masyarakat
ulama memperlakukan hadist hasan seperti hadist sahih. Mereka menerima
hadist hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang
hukum, moral, maupun aqidah. Tetapi sebagian ulama menolak hadist hasan
sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah