Rabu, 30 Oktober 2013

Kehidupan Rasulullah Sebelum Menikah

Di masa mudanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun banyak riwayat menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai penggembala kambing di perkampungan Bani Sa’ad. Selain itu terdapat pula riwayat bahwa beliau menggembalakan kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath (salah satu bentuk dinar). Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
ما بعث اللهُ نبيًّا إلا رعى الغنمَ . فقال أصحابُه : وأنت ؟ فقال : نعم ، كنتُ أرعاها على قراريطَ لأهلِ مكةَ
tidaklah seorang Nabi diutus melainkan ia menggembala kambing“. para sahabat bertanya, “apakah engkau juga?”. Beliau menjawab, “iya, dahulu aku menggembala kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath” (HR. Al Bukhari, no. 2262)
Selain itu disebutkan juga bahwa ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi istri beliau.
Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan. Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah mendengar tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah. Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam, didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah. Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan kepada para pedagangnya yang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” (Sirah Ibnu Hisyam, 187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51)

Referensi:
  • Ar Rahiqul Makhtum, 1/50-51, Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri
  • Shahih As Sirah An Nabawiyah, hal. 38, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Tata Cara Takbiratul Ihram dalam Shalat


Seseorang mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan ‘Allahu Akbar‘ ketika memulai shalat, ini dinamakan takbiratul ihram. Takbiratul ihram termasuk rukun shalat, shalat tidak sah tanpanya. Dalil bahwa takbiratul ihram adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:
ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ
Ulangi lagi, karena engkau belum shalat
Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:
إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…
Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397)
Menujukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut adalah hal-hal yang membuat shalat menjadi sah, diantaranya takbiratul ihram.
Para ulama mengatakan, dinamakan dengan takbiratul ihram karena dengan melakukannya, seseorang diharamkan melakukan hal-hal yang sebelumnya halal, hingga shalat selesai. Sebagaimana hadits,
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
Pembuka shalat adalah bersuci (wudhu), yang mengharamkan adalah takbir dan yang menghalalkan adalah salam” (HR. Abu Daud 618, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Sebagaimana kita ketahui, ketika dalam keadaan shalat, kita diharamkan berbicara, makan, minum dan lain-lain hingga shalat selesai.

Bolehkah mengganti ucapan Allahu Akbar?

Mengganti ucapan takbiratul ihram, misalnya dengan الله أجلُّ /Allahu Ajall/ atau الله أعظمُ /Allahu A’zham/ atau lafadz-lafadz lain, hukumnya haram, walaupun masih berupa lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah. Karena lafadz takbir itu tauqifiyyah, ditetapkan oleh dalil. Menggantinya dengan lafadz lain adalah perbuatan bid’ah.
Namun para ulama berselisih pendapat jika lafadz takbir menggunakan ucapan الله الأكبرُ /Allahul Akbar/. Sebagian ulama, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, menganggapnya sah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz tersebut hanya tambahan tidak mengubah lafadz dan makna (Shifatu Shalatin Nabi, 58). Demikian juga perihal mengganti lafadz Allahu Akbar dengan bahasa selain arab.
Yang benar, semua itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tidak boleh mengganti lafadz takbir dengan selain الله أكبرُ. Karena hadits-hadits yang menyebutkan tentang lafadz takbir dalam shalat, disebutkan hanya lafadz الله أكبرُ.  Misalnya hadits:
إنَّهُ لا تتمُّ صلاةٌ لأحدٍ منَ النَّاسِ حتَّى يتوضَّأَ فيضعَ الوضوءَ مواضعَهُ ثمَّ يقولُ اللَّهُ أَكبرُ
Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh air wudhu pada tempat-tempatnya, lalu ia berkata ‘Allahu Akbar’” (HR Abu Daud 857, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” (HR. Bukhari 631, 5615, 6008)
Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan takbir, sebagian ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf membolehkan pelafalan takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur baginya kewajiban takbiratul ihram.

Ukuran suara takbir

Takbiratul ihram itu wajib diucapkan dengan lisan, tidak boleh hanya diucapkan di dalam hati. Lalu para ulama berselisih pendapat apakah dipersyaratkan suara takbir minimal dapat didengar oleh diri sendiri atau tidak. Sebagian ulama seperti Hanabilah mempersyaratkan demikian, yaitu suara takbir dapat didengar oleh sebelahnya atau minimal dapat didengar oleh si pengucap sendiri (Syarhul Mumthi’, 3/20). Namun yang rajih, hal ini tidak dipersyaratkan. Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “Yang benar, tidak dipersyaratkan seseorang dapat mendengar suara takbirnya. Karena terdengarnya takbir itu zaaid (objek eksternal) dari pengucapan. Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal ini diwajibkan, wajib mendatangkan dalil” (Syarhul Mumthi’, 3/20).

Bagaimana takbirnya orang bisu?

Orang bisu atau orang yang memiliki gangguan fisik sehingga tidak bisa berkata-kata, maka ia cukup bertakbir di dalam hati. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Karena perkataan Allahu Akbar itu mencakup ucapan lisan dan ucapan hati. Tidaklah lisan seseorang mengucapkan Allahu Akbar kecuali pasti hatinya mengucapkan dan memaksudkannya dalam hati. Sehingga jika seseorang terhalang untuk mengucapkannya, yang wajib baginya adalah cukup dengan mengucapkan dengan hatinya” (Syarhul Mumthi’, 3/20)
Namun para ulama berbeda pendapat apakah orang tersebut harus menggerakan bibirnya sambil mengucapkan di dalam hati? Sebagian ulama seperti Syafi’iyyah tetap mewajibkan menggerakkan bibir, karena yang dinamakan al qaul dalam bahasa arab, itu disertai dengan gerakan bibir. Dan jika seseorang terhalang untuk bertakbir secara sempurna, maka wajib baginya bertakbir sesuai kemampuan yang ia miliki, termasuk menggerakkan bibir. Sebagian ulama seperti Malikiyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah tidak mewajibkan, karena gerakan bibir bukanlah tujuan namun sarana atau wasilah untuk mengucapkan takbir. Sehingga ketika seseorang terhalang untuk melakukan pengucapan, maka gugur pula sarananya. Dan sekedar gerakan bibir itu tidak teranggap dalam syari’at (Syarhul Mumthi’, 3/20, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 19/92).

Mengangkat Kedua Tangan

Para ulama bersepakat bahwa disyar’iatkan mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Dalilnya hadits:
أنَّ النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم كان يرفعُ يديه حذوَ مَنكبيه؛ إذا افتتح الصَّلاةَ، وإذا كبَّرَ للرُّكوع، وإذا رفع رأسه من الرُّكوع
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepada setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya” (HR. Bukhari 735)
Namun mereka berselisih pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ulama mengatakan hukumnya wajib, seperti Al Auza’i, Al Humaidi, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim. Dalil mereka adalah karena hadits-hadits menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Sedangkan beliau bersabda:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat
Namun pendapat ini tidak tepat, karena banyak tata cara shalat yang beliau selalu lakukan seperti duduk tawarruk, duduk iftirasy, berdoa istiftah, dll namun tidak wajib hukumnya. Bahkan ini semua tidak dinilai wajib oleh ulama yang mewajibkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Sehingga ada idthirad (kegoncangan) dalam pendapat ini. Yang benar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah (Shifatu Shalatin Nabi, 63-67).

Bentuk Jari-Jari Dan Telapak Tangan

Jari-jari direnggangkan, tidak terlalu terbuka dan juga tidak dirapatkan. Berdasarkan hadits:
كان إذا قام إلى الصلاة قال هكذا – وأشار أبو عامر بيده ولم يفرج بين أصابعه ولم يضمها
Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika shalat beliau begini, Abu Amir (perawi hadits) mengisyaratkan dengan gerakan tangannya, beliau tidak membuka jari-jarinya dan tidak merapatkannya” (HR. Ibnu Khuzaimah 459, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Khuzaimah)
Untuk telapak tangan, sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim, At Thahawi, Abu Yusuf dan sebagian besar Hanabilah menganjurkan mengarahkan telapak tangan lurus ke arah kiblat ketika mengangkat kedua tangan, berdalil dengan hadits :
إذا استفتح أحدُكم الصلاةَ فليرفع يديْهِ ، وليستقبل بباطنِهما القِبلةَ
Jika salah seorang kalian memulai shalat hendaklah mengangkat kedua tangannya, lalu hadapkan kedua telapak tangannya ke arah kiblat” (HR. Al Baihaqi dalan Sunan Al Kubra 2/27, dalam Silsilah Adh Dha’ifah (2338) Al Albani berkata: “dhaif jiddan”)
Dan ada beberapa hadits yang semakna namun tidak ada yang shahih. Adapun hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
لأنظرن الى صلاة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال فلما افتتح الصلاة كبر ورفع يديه فرأيت إبهاميه قريبا من أذنيه
Sungguh aku menyaksikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ketika beliau memulai shalat beliau bertakbir lalu mengangkat kedua tangannya sampai aku melihat kedua jempolnya dekat dengan kedua telinganya” (HR. An Nasa-i 1101, dishahihkan Al Albani dalam Sunan An Nasa-i)
bukan merupakan dalil yang sharih akan perbuatan ini. Namun memang terdapat atsar shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
انه كان اذا كبر استحب ان يستقبل بإبهامه القبلة
Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir beliau menyukai menghadapkan kedua ibu jarinya ke arah kiblat” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 4/157, dinukil dari Shifatu Shalatin Nabi, 63)
Sebagian ulama berdalil dengan keumuman keutamaan menghadap kiblat di luar dan di dalam ibadah. Diantaranya seperti ayat:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)
Juga hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
البيتِ الحرامِ قبلتِكم أحياءً وأمواتًا
Masjidil Haram adalah kiblat kalian ketika hidup maupun ketika mati” (HR. Abu Daud 2875)
Hadits ini diperselisihkan keshahihannya dan secara umum ini adalah pendalilan yang tidak sharih (tegas). Oleh karena itu, yang rajih insya Allah, mengarahkan kedua telapak tangan ke kiblat ketika takbiratul ihram itu boleh dilakukan sebagaimana perbuatan Ibnu Umar radhiallahu’anhu namun tidak sampai disunnahkan (Shifatu Shalatin Nabi, 63-66).

Ukuran Tinggi

Kedua tangan diangkat setinggi pundak atau setinggi ujung telinga. Berdasarkan hadits:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ إذا قام إلى الصلاةِ يرفعُ يديه حتى إذا كانتا حذوَ مِنكَبيه
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi pundaknya” (HR. Ahmad 9/28, Ahmad Syakir mengatakan: “sanad hadits ini shahih”)
Juga hadits:
كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا افتتحَ الصلاةَ رفع َيدَيهِ حتى تكوناَ حَذْوَ أُذُنَيهِ
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya” (HR. Al Baihaqi 2/26)
Juga hadits dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu
أنه رأى نبي الله صلى الله عليه وسلم . وقال : حتى يحاذي بهما فروع أذنيه
Ia melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ia berkata (tangannya diangkat) sampai setinggi pangkal telinganya” (HR. Muslim 391, Abu Daud 745)
Ini adalah khilaf tanawwu’ (perbedaan variasi), maka seseorang boleh memilih salah satu dari cara yang ada. Bahkan yang lebih utama terkadang mengamalkan yang satu dan terkadang mengamalkan yang lain, sehingga masing-masing dari sunnah ini tetap lestari dan diamalkan orang.
Sebagian ulama memperinci ukuran tersebut, yaitu bagian bawah telapak tangan setinggi pundak, atau bagian atas telapak tangan setinggi pangkal telinga. Namun yang tepat, dalam hal ini perkaranya luas, yang mengangkat kedua telapaknya tangan sampai sekitar pundak atau sampai sekitar telinga tanpa ada batasan tertentu itu sudah melakukan yang disunnahkan oleh Nabi (lihat Syarhul Mumthi, 3/31). Adapun praktek sebagian orang yang meyakini bahwa kedua telapak tangan harus menyentuh daun telinga, ini tidak ada asalnya sama sekali (Shifatu Shalatin Nabi, 63).

Takbir Dulu Atau Angkat Tangan Dulu?

Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, takbir berbarengan dengan mengangkat tangan. Sedangkan  Hanafiyyah dan salah satu pendapat Syafi’iyyah, mengangkat tangan itu sebelum takbir. Sebagian ulama Hanafiyah juga berpendapat mengangkat tangan itu setelah takbir. Yang benar, perkara ini masih bisa ditolerir, artinya boleh mengangkat tangan dahulu sebelum takbir, boleh setelah takbir dan dibolehkan juga berbarengan dengan takbir. Karena semua ini pernah dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (Ashlu Sifati Shalatin Nabi, 193-199).
Dalil sebelum takbir
Hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبَّر
Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” (HR. Muslim 390)
Hadits dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ يرفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، ثم
يكبر
Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” (HR. Abu Daud 729 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Dalil bersamaan dengan takbir
Hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
رأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر حتى يجعلهما
حذو منكبيه، وإذا كبَّر للركوع؛ فعل مثله
Aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga keduanya setinggi pundak. Jika beliau hendak ruku, beliau juga melakukan demikian” (HR. Bukhari 738)
Hadits Malik Ibnul Huwairits radhiallahu’anhu:
أن رسول الله كان إذا صلى ، يرفع يديه حين يكبر حيال أذنيه ، وإذا أراد أن يركع ، وإذا رفع رأسه من الركوع
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika shalat beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga sampai setinggi kedua telinganya. Beliau lakukan itu juga ketika hendak ruku’ atau hendak mengangkat kepada dari ruku’” (HR. An Nasa-i 879, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Nasa-i)
Dalil setelah takbir
Hadits dari Abu Qilabah,
أنه رأى مالك بن الحويرث ، إذا صلى كبر . ثم رفع يديه . وإذا أراد أن يركع رفع يديه . وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه . وحدث ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفعل هكذا
“Ia melihat Malik bin Al Huwairits radhiallahu’anhu jika shalat ia bertakbir, lalu mengangkat kedua tangannya. Jika ia ingin ruku, ia juga mengangkat kedua tangannya. Jika ia mengangkat kepala dari ruku, juga mengangkat kedua tangannya. Dan ia pernah mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melakukan seperti itu” (HR. Muslim 391)
Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

Referensi:
  1. Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharifi, cetakan Maktabah Darul Minhaj
  2. Asy Syarh Al Mumthi’ Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,  Asy Syamilah
  3. Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Kementrian Agama Kuwait, Asy Syamilah
  4. Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah

Minggu, 15 September 2013

AYAT 1000 DINAR



Hari ini kita cerita mengenai ayat seribu dinar. Ramai di antara kita yang sudah beramal dengan ayat seribu dinar, setengahnya, beli hiasan dinding dengan ayat seribu dinar. Tapi apa kita sudah tahu?, bagaimana ayat dari surah at-Talaq (2-3) ini mendapat gelaran ayat seribu dinar?

Al-kisah cerita bermula dengan sebuah kapal yang berlayar di tengah samudera, tiba2 satu hari ditahan oleh seorang pemuda. Penghuni di atas kapal semuanya  heran, dari mana munculnya pemuda tersebut sedangkan mereka berada di tengah2 lautan.

Selepas pemuda tersebut naik ke atas kapal tersebut, dia pun bertanya, "Siapa yang ingin tahu cara untuk mendapatkan harta yang tidak disangka2?"  Maka berebutlah orang2 di atas kapal itu hendak belajar dari pemuda tersebut. Pemuda itu pun menyambung semula, "Bagi sesiapa yang mahu tahu caranya, hendaklah menyediakan bayaran sebanyak seribu dinar." (seribu dinar ini dikira mahal,atau uang emas). Maka ramailah yang mengundurkan diri.. kecuali seorang pemuda.


Beliau sanggup membayar kepada pemuda yang baru naik ke atas kapal itu dengan bayaran seribu dinar, agar mengetahui cara2 untuk mendapatkan harta yang tidak di sangka2. Maka pemuda yang membayar seribu dinar ini pun diajar supaya mengamalkan surah At-talaq, dari penghujung ayat kedua sehingga habis ayat ke tiga. Selepas mengajar ayat tersebut, pemuda yang mengajar tu pun hilang dari penglihatan.
Semua orang merasa heran. Pemuda yang diajar ayat tadi pun beramallah dengan ayat tersebut sepanjang perjalanan mereka di tengah lautan.

Pada suatu ketika di dalam perlayaran tersebut, ada angin ribut-taufan yang sangat dahsyat, sehingga menyebabkan kapal tersebut tenggelam. Maka matilah semua penumpang kapal tersebut kecuali pemuda yang beramal dengan ayat tersebut.
Beliau terdampar di sebuah pulau.
Sedang beliau berjalan2 mencari tempat berteduh, pemuda tadi berjumpa sebuah gua. Di dalam gua tersebut beliau bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Di samping gadis tersebut terdapat harta yang sangat banyak. Pemuda tadi pun bertanya kepada gadis tersebut, siapakah dia dan milik siapa harta yang banyak itu. Maka gadis tersebut menceritakan bahawa beliau telah diculik oleh jin yang ingin menjadikan gadis itu isterinya. Gadis tersebut ditawarkan harta yang banyak, akhirnya beliau bersetuju dengan perkahwinan tersebut.

Pemuda tersebut berkata kepada gadis tersebut, bahawa dia akan menyelamatkan gadis tersebut dari jin yang jahat itu. Gadis itu pun memberitahu pemuda tersebut yang jin itu akan datang bertanya dua kali sehari, sekali di waktu pagi dan sekali di waktu petang.

Pada petang hari tersebut jin pun datang bertanya kepada gadis tersebut, apakah kau siap menjadi istri ku?, (kata jin) . Sebelum sempat dijawab oleh gadis tersebut, pemuda tadi pun keluar dari tempat persembunyian sambil menyuruh jin supaya melepaskan gadis itu. Jin tersebut sangat marah tetapi pemuda itu tidak berasa takut. Malah dia berkata kepada jin tersebut . Pemuda tersebut menawarkan kepada jin sekiranya dia kalah, gadis itu akan menikah dengan jin tersebut dan sekiranya dia menang, dia akan dapat harta yang banyak tadi beserta dengan gadis tersebut.

Mendengarkan ini, jin tersebut sangat suka karena dia pasti dapat mengalahkan pemuda tersebut, maka dia pun bersetuju.

Maka berlawanlah jin dan pemuda tersebut, dengan berkat amalan ayat di atas, maka jin itu pun dapat dikalahkan. Maka jin itu pun terpaksa menyerahkan harta yang banyak dan gadis itu kepada pemuda tadi.

Selang beberapa hari, ada sebuah kapal layar singgah di pulau tersebut. Maka pemuda dan gadis itu pun menumpang pulang ke negeri asalnya beserta harta jin tadi. Maka mereka menikah, mendapat harta yang tidak disangka2, yaitu, terselamat dari kapal tenggelam, dapat mengalahkan jin tadi, mendapat harta dan gadis tadi. Sebab itulah ramai orang berkata, bagus  diamalkan ayat seribu dinar ini sekiranya mau rezeki yang tidak disangka2.
Wallahua'lam.

SHOLAWAT NAARIYAHA/KAMILAH

   
SHOLAWAT Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syekh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allah, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga syekh selalu berdoa kepada Allah memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi.
Doa-doa yang menyertakan Nabi biasa disebut sholawat dan syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut sholawat nariyah.Suatu malam syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allah. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti syekh Nariyah. Namun nabi mengatakan tidak bisa karena syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu. Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? dan justru syekh Nariyah yang bisa? Parasahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untukdirinya sendiri karena Allah sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat. Jadi nabi berperan sebagai wasilah yang bisa melancarkan doa umat yang bersholawat kepadanya. Inilah salah satu rahasia doa/sholawat yang tidak banyak orang tahu sehingga banyak yang bertanya kenapa Nabi malah didoakan umatnya? Untuk itulah jika kita berdoa kepada Allahjangan lupa terlebih dahulu bersholawat kepada Nabi SAW karena doa kita akan lebih terkabul daripada tidak berwasilah melalui bersholawat.
Inilah riwayat singkat sholawat nariyah. Hingga kini banyak orang yang mengamalkan sholawat ini, tak lain karena meniru yang dilakukan syekh Nariyah. Dan ada baiknya sholawat ini dibaca 4444 kali
karena syekh Nariyah memperoleh karomah setelah membaca 4444 kali. Jadi jumlah amalan itu tak lebih dari itba’ (mengikuti) ajaran syekh Nariyah. Membaca shalawat nariyah adalah salah satu amalan
yang disenangi orang-orang NU, di samping amalan-amalan lain semacam itu. Ada shalawat “thibbil qulub”, ada shalawat “tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib”, dan
“rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cinta kepada
Rasulullah SAW sekaligus beribadah. Salah satu hadits yang sangat populer yang membuat rajin kita membaca shalawat ialah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya.
Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.Salah satu shalawat yang sangat populer ialah “shalawat badar”. Hampir setiap warga NU, dari anak kecil sampai kakek dan nenek, dapat dipastikan bisa melantunkan shalawat Badar. Bahkan saking populernya, orang bukan NU pun ikut hafal karena pagi, siang, malam, acara di mana dan kapan saja shalawat badar selalu dilantunkan bersama-sama. Nah shalawat yang satu ini, “shalawat Nariyah”, tidak kalah populernya di kalangan warga NU. Khususnya bila menghadapi problem hidup yang sulit dipecahkan maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan persoalan pelik itu kepada Allah. Dan shalawat Nariyah adalah salah satu jalan mengadu kepada- Nya. Berikut ini adalah bacaan shalawat nariyah :

Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.


Berikut adalah Doa tambahan setelah membaca sholawat Nar Tafrijiyan / Sholawat Nariyah :
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIIM
ALHAMDULILLAHI ROBBIL 'ALAMIIN. ALLAHUMMA SHOLLI WA SALLIM 'ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA 'ALAA AALIHI WA SHOHBIHI AJMA'IIN. ALLAHUMMA INNAA NAS ALUKA WA NATAWASSALU ILAIKA WA NATASYAFFA'U 'INDAKA BIS SHOLAATI 'ALAA NABIYYIKA MUHAMMADIN SHOLLALLAHU 'ALAIHI WA SALLIM AN TAQDHIYA HAAJAATINAA FA INNAHU LAA YAQDHI HAAJATA AHAADIN ILLA ANTA YAA HAYYU YAA QOYYUUMU BIROHMATIKA NASTAGHIITSU YAA MUGHIITSU AGHITSNAA, YAA MUGHIITSU AGHITSNAA, YAA MUGHIITSU AGHITSNAA. WA SHOLLALLAHU 'ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA 'ALAA AALIHI WA SHOHBIHI WA SALLAMA WAL HAMDULILLAHI ROBBIL 'AALAMIIN.

Dalam kitab Khozinatul Asror (hlm. 179) dijelaskan, “Salah satu shalawat yang mustajab ialah Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, yang disebut orang Maroko dengan Shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak yang tidak disukai mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat nariyah ini sebanyak 4444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat (bi idznillah).
Shalawat ini juga oleh para ahli yang tahu rahasia alam diyakini sebagai kunci gudang yang mumpuni:.
Dan imam Dainuri memberikan komentarnya: Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat (Fardhu) 11 kali digunakan sebagai wiridan maka rizekinya tidak akan putus, di samping mendapatkan pangkat kedudukan dan tingkatan orang kaya.”Hadits riwayat Ibnu Mundah dari Jabir mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: Siapa membaca shalawat kepadaku sehari 100 kali (dalam riwayat lain): Siapa membaca shalawal kepadaku 100 kali maka Allah akan mengijabahi 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia…
Dan hadits Rasulullah yang mengatakan; Perbanyaklah shahawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah yang dikutib juga dalam Khozinatul Asror.Diriwayatkan juga Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits, beliau bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian.
Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amalamal kalian disampaikan kepadaku, jika saya tahu amal itu baik, aku memujii Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. Hadits riwayat al-Hafizh Ismail alQadhi, dalam bab Shalawat ‘ala an-Nary. Imam Haitami menyebutkan dalam kitab Majma’ az-Zawaid, ia menganggap shahih hadits di atas.Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa untuk umatnya pasti bermanfaat. Ada lagi hadits lain: Rasulullah bersabda: Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku sehingga aku bisa mennjawab salam itu. (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah. Ada di kitab Imam an-Nawawi, dan sanadnya shahih)
(sejarah ini bersumber dari berbagai kitab kuning serta bersumber dari blog-blog di internet, semoga menambah keyakinan dalam mengamalkannya)

ILMU HADITS

A. Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawinya ( Aspek Kuantitas Hadist )
Kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadist atau dari segi jumlah sanadnya.
Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadist secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadist mutawatir, hadist masyhur (hadist mustafidh) dan hadist ahad.
1. Hadist Mutawatir
a. Pengertian hadist mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu tidak kurang dari dua puluh perawi. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan pernyataan Allah sebagai berikut :
Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam.
Sedangkan menurut istilah para ulama telah memberikan batasan yakni: hadist mutawatir adalah tentang suatu yang mahsus (yang dapat ditangkap oleh panca indera), yang disampaikan oleh sejumlah besar rawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta.
Suatu hadist baru dapat dikatakan hadist mutawatir, bila hadist itu memenuhi tiga syarat, yaitu:
l Pertama: Hadist yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah SAW yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatannya yang dapat dilihat dengan mata kepala atau sabdanya yang dapat didengar dengan telinga.
l Kedua: Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan hadist) itu haruslah mencapai jumlah yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Tentang beberapa jumlah minimal para rawi tersebut terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, sebagian menetapkan dua belas orang rawi, sebagian yang lain menetapkan dua puluh, empat puluh dan tujuh puluh orang rawi.
l Ketiga: Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.
b. Pembagian Hadist Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu :
1. Hadist mutawatir lafdhi
Hadist mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap sama.
Contoh hadist mutawatir lafdhi yang artinya:
Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka” (Hadist Riwayat Bukhari). “
Hadist tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadist itu dengan redaksi yang sama.
2. Hadist Mutawatir maknawi
Hadist mutawatir maknawi adalah hadist mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadist-hadist yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadist-hadist yang termasuk hadist mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadist-hadist yang termasuk hadist mutawatir lafdhi.
Contoh hadist mutawatir maknawi yang artinya:
Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadist Riwayat Mutafaq’ Alaihi). ”
3. Hadist Mutawatir ‘amali
Hadist mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
c.Kedudukan Hadist Mutawatir
Seperti telah disinggung, hadist-hadist yang termasuk kelompok hadist mutawatir adalah hadist-hadist yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadist mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadist mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadist itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadist ahad.
2. Hadist Ahad
a. Pengertian Hadist Ahad
Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad. Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir, maka pengertian hadist ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir.

b. Pembagian Hadist Ahad
1. Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
Yang artinya:
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
2. Hadist ‘aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini:
Yang artinya:
Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah) “
Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
3. Hadist gharib
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.

Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang artinya:
Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “
Kendati hadist ini diriwayatkan oleh banyak imam hadist, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadist tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh hanya satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.
Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadist gharib.
c. Kedudukan Hadist Ahad
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad, bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak.

3. Perbedaan Hadist Ahad dengan Hadist Mutawatir
a. Dari segi jumlah rawi
Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
b. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya. Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi kedudukan
Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
d. Dari segi kebenaran keterangan matan
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat al-Qur’an.
B. Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad Dan Matannya (Aspek Kualitas Hadist)
Kualitas hadist adalah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar palsunya hadist itu berasal dari Rasulullah SAW. Penentuan kualitas hadist tergantung pada tiga hal yaitu: jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan. Klasifikasi hadist ditinjau dari aspek kualitas hadist, terbagi kedalam tiga tingkatan:
1. Hadist Sahih
2. Hadist Hasan
3. Hadist Dha’if ( Dibahas pada silabus selanjutnya )
Selanjutnya, berikut sedikit uraian bagian-bagian tersebut secara terperinci.
1.Hadist Sahih
a. Definisi hadist sahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat, sah, atau benar, sehingga hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yang bersih dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist sahih adalah hadist yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadist sahih adalah sebagai berikut:
1. Sambung sanadnya
Bahwa setiap perawi memang menerima hadist secara langsung dari perawi seatasnya sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
2. Perawinya harus adil
Setiap perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
3. Perawinya harus cermat
Setiap perawi haruslah sempurna kecermatannya, baik dia cermat ingatannya atau cermat kitabnya.
4. Tidak syadz
Hadisnya tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz artinya tidak cocoknya seorang perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang lebih terpercaya darinya.
5. Tidak terkena
Hadistnya tidak terkena sebab-sebab sulit dan tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadist, padahal kenyataan lahirnya adalah selamat darinya.
Dari kelima syarat itu, apabila salah satu syarat tidak terpenuhi atau rusak, maka hadist dalam keadaan demikian tidak dapat disebut sebagai hadist sahih
Contoh hadist sahih, yang artinya :
Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)
Hadist ini dikatakan sahih karena:
1. Sanadnya sambung, sebab perawinya mendengar langsung dari gurunya.
2. Perawinya adil dan cermat, sebab disebutkan Abdullah bin Yusuf adalah seorang terpercaya dan cermat, Malik bin Anas adalah imam yang hafidz, Ibnu Syihab az-Zuhri adalah ahli fiqh hafidz, Muhammad bin Jubair adalah orang terpercaya, dan Jubair bin Muth’im adalah seorang sahabat.
3. Hadistnya tidaklah satu illat pun.
b. Pembagian hadist sahih
Hadist sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. Hadist sahih li dzatih
l Adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist sahih.
2. Hadist sahih li ghairih
l Adalah hadist dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh hadist-hadist yang lain.
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang diriwayatkan oleh:
1. Bukhari dan Muslim
2. Bukhari sendiri
3. Muslim sendiri
4. Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5. Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6. Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7. Ulama yang terpandang (mu’tabar)
c. Kedudukan hadist sahih
Hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.

2. Hadist Hasan
a. Definisi hadist hasan
Hadist hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Contoh hadist hasan, yang artinya :
Dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan (sakratul maut)". (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.)
Hadist ini telah dikatakan oleh Turmudzi sendiri: “ hadits ini hasan ”
b. Pembagian hadist hasan
Hadist hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadist hasan li dzatih
l Adalah hadist yang keadaannya seperti tergambar dalam batasan hadist hasan di atas.
2. Hadist hasan li ghairih
· Adalah hadist dibawah derajat hadist hasan yang naik ke tingkatan hadist hasan karena ada hadist lain yang mengikutinya.
c. Kedudukan hadist hasan
Para ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadist hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadist sahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah. Masyarakat ulama memperlakukan hadist hasan seperti hadist sahih. Mereka menerima hadist hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang hukum, moral, maupun aqidah. Tetapi sebagian ulama menolak hadist hasan sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah

"SHOLAWAT SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI"

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM.
ALLAHUMMA SHOLLI ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIS SABIQI LILKHALQI NUURUH. WAROHMATULIL ALAMIINA DZUHUURUH. ADADAMAN MADHOO MINKHALQIKA WA MAN BAQIYA WA MAN SAIDA MINHUM WA MAN SYAQIYA. SHOLATAN TASTAGHRIQUL ADDA WATAKHIIDU BILKHOLDII SHOLAATAL LA GHOYATALAHA.
“Ya Allah, limpahkanlah sholawat kepada Sayyidina Muhammad yang cahayanya telah mendahului penciptaan makhluk, dan kemunculannya merupakan rahmat bagi semesta alam, sebanyak jumlah makhluk-MU yang lalu maupun yang akan datang serta yang berbahagia di antara mereka maupun yang celaka, dengan sholawat yang menghabiskan segala hitungan dan meliputi segala batasan, dengan sholawat yang tidak akan habis, berakhir dan selesai”

(Hapalkan dan baca usai sholat fardhu dengan jumlah ganjil, misalnya 3 x, 7 x, 9 x dst)
Sholawat ini untuk 1001 macam hajat keperluan(keamanan/keselamatan, ketaqwaan/keimanan, karomah/kesaktian dll) dengan cara baca 3 x dan tiupkan ke telapak tangan lalu usapkan ke seluruh tubuh kita. Saat yang darurat, genting dan berbahaya dibaca sebanyak-banyaknya dengan niat memohon pertolongan Allah SWT.

SHOLAWAT TAYSIR

صَـلَوَةْ التَيْسِـيْر
بِسْـــمِ للهِ الرَّحْمٰـنِ الـرَّحِـيْمِ
اَللّٰـهُـمَّ صَلِّ عَـلٰى سَيِّـدِنَا مُحَمَّـدٍ وَعَـلٰى اٰلِ سَيِّــدِنَامُحَمَّدٍ ، صَـلَاةً تَفْـتَحُ لِي بِـهَـا بَابَ الـرِّضَا وَالتَّيْـسِيْـرِ،
وَتَغْـلِـقُ بِهَاعَـنِّى بَـابَ الشَّـرِّ وَالتَّعْسِـيْرِ، وَتَـكُـوْنُ لِى بِـهَا وَلِيًّـا وَّ نَصِـيْـرًا، يَانِـعْمَ الْمَـوْلٰى وَيَانِـعْمَ النَّـصِيْرُ.
وَعَطِـفْ قُلُـوْبَ الْـعَالَمِيْنَ بِـاَسْـرِهِـمْ عَلَيَّ وَاَلْبِسْـنِيْ قَـبُـوْلاً بِشَـلْـمَهَـتْ .
AURA SHALAWAT TAISIR
                Sholawat   Taisir   adalah   suatu   sholawat   yang   bermanfaat selain mendapat pahala bagi pembacanya  mempunyai pula  ke ajaiban yang sangat menakjubkan  sekali  baik  disadari ataupun  tidak  disadari. Adapun kejaiban dari  sholawat  tersebut  mempunyai  aura  yang sangat hebat sehingga dapat berfungsi    untuk  membuka   hijab  yang  sangat  sulit   untuk  ditembus  atau dibukakan  sesuai  dengan  manya  Sholat  Taisir yang artinya Sholawat untuk membuka  atau  memecahkan  segala sesuatu yang sulit-sulit/ rumit – rumit.
            Bagi  para  auliya  Allah  dan  para  ulama  yang mengetahui ke hebatan Sholawat   Taisir   ini  bayak   sekali   dimanfa’atkan  auranya  untuk  beberapa kepentingan  diantaranya  Insaya  Allah  saya  akan  paparka selemumit bagi orang yang membutuhkannya.
KHASIAT SHOLAWAT TAISIR
1. Untuk kelancaran rizqi
2. Untuk mempermudah melamar pekerjaan
3. Sangat cocok bagi pedangan / sales agar banyak relasi
4. Sangan cocok untuk pejabat agar disegani dan dihormati
5. Sangat cocok untuk bawahan agar di sayangi
6. Sangat cocog bagi para guru agar siwwa / santri banyak dan menurut
7.   Dll.
 KAIFIATNYA.
1.    Bacalah shalawai ini dengan istiqomah ( terus – menerus) ba,da shalat maktubah ( shalat fardhu ) masing-masing 7 x
2.    Selain dibaca 7 x lepas shalat ,baca lagi shalawat tersebut diluar waktu shalat sebanyak 111 x , membacanya boleh siang boleh malam . yang penting dalam satu hari satu malam ( 24 jam ) jumlah bacaannya mencapai 146 x
3.    Sebelum mengamalkan shalawat ini mohon tawasul terlebih dahulu paling tidak kepada Nabi kitra Muhammad saw